Sejenak
terlintas beberapa pertanyaan di benakku saat melihat ramainya berita di media
elektronik, dan di media sosial mengenai seorang Ibu yang menangis histeris
akibat seisi rumah makannya “dijarah” oleh satpol PP yang melaksanakan razia
rumah makan yang buka saat umat Muslim berpuasa di bulan Ramadan.
Sebenarnya puasa itu ditujukan untuk
siapa?
- Untuk umat Muslim sendiri ? Ataukah juga “dipaksakan” untuk orang lain misalnya yang non Muslim, yang sedang tidak boleh berpuasa, dan yang mendapat pengecualian untuk tidak berpuasa ?
- Apakah mencari rezeki dengan buka rumah makan di saat bulan puasa merupakan dosa ataupun tindak kejahatan sehingga harus sembunyi – sembunyi ibarat sedang melakukan transaksi yang melanggar hukum negara?
- Dalil maupun hadist mana yang melarang seseorang untuk membuka rumah makan di bulan puasa?
- Jika dibilang tidak menghargai yang sedang berpuasa, apakah tidak cukup dengan menutupnya dengan tirai agar tidak terlihat dari luar?
- Apakah tingkat daya uji puasanya hanya sebatas celah pintu rumah makan? Sampai – sampai rumah makan yang sudah tertutup kain dengan pintu yang sedikit terbuka saja bisa mengganggu ibadah puasa seseorang? Selemah itukah niat berpuasanya?
- Apakah ibadah yang didirikan dengan cara mempersulit orang lain ada pahalanya dan apakah pahalanya berkah?
Untuk hal yang satu ini mungkin
bukan kapasitas saya untuk menjawabnya, bukan juga kapasitas Anda untuk
menjawabnya, karena urusan amal ibadah adalah hak mutlak bagi Sang Khalik untuk
menentukannya.
Terlepas
dari semua pertanyaan di atas, ada suatu pengalaman menarik yang saya alami
sendiri di kantor beberapa tahun yang lalu.
Di
kantor, saya berada satu ruangan dengan
beberapa umat Muslim. Di ruangan tersebut hanya saya sendiri yang non Muslim. Pada
saat itu sedang bulan puasa. Saat jam makan siang tiba, saya membawa seluruh
bekal makanan dan minuman saya untuk dimakan di ruangan lain yang agak jauh
dari ruangan tempat posisi saya berada (Note
: Di kantor saya tidak ada pantry, tidak menggunakan sekat cubicle dan biasanya
makan di tempat masing - masing). Ini sebagai bentuk tata krama saya dalam
menghargai rekan saya yang sedang menjalankan ibadah puasa, agar mereka dapat
melaksanakan ibadahnya tanpa gangguan dari saya.
Setelah
selesai makan siang, saya kembali ke dalam ruangan & mereka bertanya kepada
saya selayaknya kami sedang ngobrol santai.
“Kok
makannya pindah ruangan?” tanya salah satu dari mereka.
“Iya, kalian
kan sedang berpuasa. Segan aku, nanti puasa kalian jadi terganggu dengan aroma
makananku” jawabku
“Gak apa –
apa koq, gak bakalan ngaruh sama kami karena kami kan memang sudah meniatkan
diri sejak sahur untuk berpuasa seharian. Elo mau makan di hadapan kami juga
gak bakalan ngaruh.” jawab rekan saya yang lain.
“Iya, lain
kali makan disini aja gak apa – apa koq. Gak usah pindah sampai sejauh itu”
timpal rekan saya yang lainnya.
‘Iya deh” jawab saya.
Jawaban
rekan saya secara otomatis membuat saya semakin menghargai mereka yang sedang
menjalankan ibadah puasa, (dibandingkan
dengan mereka yang teriak – teriak minta dihargai :p). Alhasil mulai saat
itu saya makan di tempat saya tetapi sebisa mungkin saya tetap menjaga agar
tidak sampai mengganggu ibadah teman saya, dengan cara hanya makan dan minum
saat memang sudah terasa lapar & haus, itu pun dengan posisi agak
menyamping atau membelakangi mereka agar tidak langsung frontal menampakkan
diri sedang makan / minum di hadapan mereka (segan lha . . , jangan lantaran sudah dikasih izin langsung bablas
hehehe).
Itu adalah
contoh menghargai karena adanya kesadaran bahwa hak kita sendiri juga dihargai,
bukan menghargai karena diminta untuk menghargai. Coba bandingkan mana yang
lebih mulia? Dihargai karena kesadaran dan ketulusan seseorang karena haknya
(untuk makan dan minum) juga dihargai, atau dihargai karena diminta (di paksa dengan cara razia?)?
Jika
mengibaratkan puasa sebagai ujian, maka kondisi di sekelilingnya diibaratkan sebagai
tingkat kesulitan ujiannya. Jika berhasil mengatasi ujian dengan tingkatan yang
amat sangat sulit, maka hasil kemenangannya akan lebih terasa luar biasa. Bukankah
kenikmatan yang dialami oleh seorang pendaki gunung di atas puncak adalah hasil
dari usahanya dalam menaklukkan medan yang berat dan berbahaya?
Tentu beda rasanya apabila
mendapatkan kemenangan dengan mudah tanpa adanya ujian yang berat. Ibaratnya
ujian di kampus dengan sistem open book,
nilainya dapat tapi ilmunya gak dapat.
Jika
senantiasa mengharapkan kemudahan dalam setiap ujian kehidupan, maka dimana
letak esensi dari kemenangan yang hakiki?
Janganlah meminta keringanan untuk
setiap bebanmu, tetapi mintalah punggung yang kuat untuk mengangkat seluruh
bebanmu. Itu akan menjadikanmu pribadi yang kokoh dan cemerlang, karena ombak
yang tenang tidak akan pernah menghasilkan pelaut yang tangguh.
Selamat menjalankan ibadah puasa.
(14 Juni 2016, di bulan Ramadan yang
damai di kantor)