Selasa, 14 Juni 2016

Catatan di Bulan Ramadan 2016

Sejenak terlintas beberapa pertanyaan di benakku saat melihat ramainya berita di media elektronik, dan di media sosial mengenai seorang Ibu yang menangis histeris akibat seisi rumah makannya “dijarah” oleh satpol PP yang melaksanakan razia rumah makan yang buka saat umat Muslim berpuasa di bulan Ramadan.

Sebenarnya puasa itu ditujukan untuk siapa?
  • Untuk umat Muslim sendiri ? Ataukah juga “dipaksakan” untuk orang lain misalnya yang non Muslim, yang sedang tidak boleh berpuasa, dan yang mendapat pengecualian untuk tidak berpuasa ?
  • Apakah mencari rezeki dengan buka rumah makan di saat bulan puasa merupakan dosa ataupun tindak kejahatan sehingga harus sembunyi – sembunyi ibarat sedang melakukan transaksi yang melanggar hukum negara?
  • Dalil maupun hadist mana yang melarang seseorang untuk membuka rumah makan di bulan puasa?
  • Jika dibilang tidak menghargai yang sedang berpuasa, apakah tidak cukup dengan menutupnya dengan tirai agar tidak terlihat dari luar?
  • Apakah tingkat daya uji puasanya hanya sebatas celah pintu rumah makan? Sampai – sampai rumah makan yang sudah tertutup kain dengan pintu yang sedikit terbuka saja bisa mengganggu ibadah puasa seseorang? Selemah itukah niat berpuasanya?
  • Apakah ibadah yang didirikan dengan cara mempersulit orang lain ada pahalanya dan apakah pahalanya berkah?

Untuk hal yang satu ini mungkin bukan kapasitas saya untuk menjawabnya, bukan juga kapasitas Anda untuk menjawabnya, karena urusan amal ibadah adalah hak mutlak bagi Sang Khalik untuk menentukannya.

Terlepas dari semua pertanyaan di atas, ada suatu pengalaman menarik yang saya alami sendiri di kantor beberapa tahun yang lalu.

Di kantor,  saya berada satu ruangan dengan beberapa umat Muslim. Di ruangan tersebut hanya saya sendiri yang non Muslim. Pada saat itu sedang bulan puasa. Saat jam makan siang tiba, saya membawa seluruh bekal makanan dan minuman saya untuk dimakan di ruangan lain yang agak jauh dari ruangan tempat posisi saya berada (Note : Di kantor saya tidak ada pantry, tidak menggunakan sekat cubicle dan biasanya makan di tempat masing - masing). Ini sebagai bentuk tata krama saya dalam menghargai rekan saya yang sedang menjalankan ibadah puasa, agar mereka dapat melaksanakan ibadahnya tanpa gangguan dari saya.

Setelah selesai makan siang, saya kembali ke dalam ruangan & mereka bertanya kepada saya selayaknya kami sedang ngobrol santai.

“Kok makannya pindah ruangan?” tanya salah satu dari mereka.
“Iya, kalian kan sedang berpuasa. Segan aku, nanti puasa kalian jadi terganggu dengan aroma makananku” jawabku
“Gak apa – apa koq, gak bakalan ngaruh sama kami karena kami kan memang sudah meniatkan diri sejak sahur untuk berpuasa seharian. Elo mau makan di hadapan kami juga gak bakalan ngaruh.” jawab rekan saya yang lain.
“Iya, lain kali makan disini aja gak apa – apa koq. Gak usah pindah sampai sejauh itu” timpal rekan saya yang lainnya.
‘Iya deh” jawab saya.

Jawaban rekan saya secara otomatis membuat saya semakin menghargai mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa, (dibandingkan dengan mereka yang teriak – teriak minta dihargai :p). Alhasil mulai saat itu saya makan di tempat saya tetapi sebisa mungkin saya tetap menjaga agar tidak sampai mengganggu ibadah teman saya, dengan cara hanya makan dan minum saat memang sudah terasa lapar & haus, itu pun dengan posisi agak menyamping atau membelakangi mereka agar tidak langsung frontal menampakkan diri sedang makan / minum di hadapan mereka (segan lha . . , jangan lantaran sudah dikasih izin langsung bablas hehehe).

Itu adalah contoh menghargai karena adanya kesadaran bahwa hak kita sendiri juga dihargai, bukan menghargai karena diminta untuk menghargai. Coba bandingkan mana yang lebih mulia? Dihargai karena kesadaran dan ketulusan seseorang karena haknya (untuk makan dan minum) juga dihargai, atau dihargai karena diminta (di paksa dengan cara razia?)?

Jika mengibaratkan puasa sebagai ujian, maka kondisi di sekelilingnya diibaratkan sebagai tingkat kesulitan ujiannya. Jika berhasil mengatasi ujian dengan tingkatan yang amat sangat sulit, maka hasil kemenangannya akan lebih terasa luar biasa. Bukankah kenikmatan yang dialami oleh seorang pendaki gunung di atas puncak adalah hasil dari usahanya dalam menaklukkan medan yang berat dan berbahaya?

Tentu beda rasanya apabila mendapatkan kemenangan dengan mudah tanpa adanya ujian yang berat. Ibaratnya ujian di kampus dengan sistem open book, nilainya dapat tapi ilmunya gak dapat.

Jika senantiasa mengharapkan kemudahan dalam setiap ujian kehidupan, maka dimana letak esensi dari kemenangan yang hakiki?
Janganlah meminta keringanan untuk setiap bebanmu, tetapi mintalah punggung yang kuat untuk mengangkat seluruh bebanmu. Itu akan menjadikanmu pribadi yang kokoh dan cemerlang, karena ombak yang tenang tidak akan pernah menghasilkan pelaut yang tangguh.

Selamat menjalankan ibadah puasa.
(14 Juni 2016, di bulan Ramadan yang damai di kantor)